Esai diskusi "studi ideologi politik di Indonesia: partai politik dan gerakan mahasiswa"
http://kamwillampung.blogspot.com/2015/02/esai-diskusi-studi-ideologi-politik-di.html
Jalan Terjal Keberpihakan Ideologis
Oleh: Ahmad Risani**
Sebelum menjadi bangsa merdeka, hingga berada di gerbang
kemerdekaan, pergolakan dan perebutan kuasa di tanah air tidak hanya dimonopoli
oleh geliat militeristik (perang dan penindasan). Perjalanan awal bangsa ini
justru lebih banyak berkisar pada upaya hagemonik
- meminjam istilah Gramsci - sebagai upaya untuk mengambil pengaruh pemikiran oleh
kelompok elit intelektual terpelajar.
Jika kita menengok kembali sejarah perebutan pengaruh
ideologi di negeri ini, kita akan menemukan sebuah drama yang tak kalah
berdarah-darah ketimbang kisah-kisah cultuur
stelsel dan Romusha misalnya. Bahkan dalam perjalanannya pasca merdeka,
perebutan hagemoni ini sedikit banyak mengundang keterlibatan dua bangsa
adidaya di masa perang dunia II, Uni Soviet dan AS. Selain itu, serba-serbi
lainnya yang patut disimak ialah ketika pergolakan itu melibatkan elit
intelektual muda bangsa yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri
(Eropa dan Arab) - ketika "pulang kampung", mereka inilah yang
kemudian turut berjibaku dalam pertaruhan ideologi, sebut saja mereka adalah
Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Kartosuwirjo, Semaun dan lain
sebagainya.
Namun, singkat cerita - pergolakan ideologis oleh
kelompok awal merdeka ini sempat mengalami penyurutan pasca disepakatinya
Pancasila sebagai jalan tengah yang memadukan beberapa unsur ideologi. Meskipun
begitu, situasi sosial-politik yang dinamis dan kurang menguntungkan bagi
pemerintahan era ordelama, memaksa
beberapa kelompok counter hagemony untuk
melakukan pemberontakan (lawan dari hagemoni). Pada akhirnya dikenal-lah
pemberontakan Komunis, di masa yang sama juga dikenal pemberontakan NII.
Sekilas tentang
Parpol
Orde baru, bisa dikatakan sebagai likuan terjal berkembangnya
ideologi islam. Ditutupnya kanal demokrasi yang memaksakan segala elemen dan
ormas gerakan dan partai untuk mengukuhkan Pancasila sebagai asas tindakan,
seolah-seolah ada faksi yang terjal antara islam dengan pancasila. Persaingan politik
lebih menonjolkan kepentingan pragmatis kelompok.
Era Reformasi, sedikit banyak telah membawa perubahan
sistemik yang fundamantal dalam menjamin liberasi bagi perjalanan demokrasi
kita. Khususnya kanal politik. Bermunculannya ragam partai islam dan ormas islam
saat ini memberikan warna baru bagi dominasi partai-partai liberalis-sekularis,
disatu sisi juga memunculkan partai-partai "banci" ideologis yang
mengklaim dirinya sebagai nasionalis-religius. Kemunculan partai/ormas banci
inilah yang kemudian semakin menguatkan dikotominya istilah "islamisme
tidak nasionalis", "nasionalis itu tidak islami", dan
sebagainya.
Saat ini partai politik dan ormas/kelompok tertentu di
Indonesia mendedah menjadi varian pilihan ideologi yang berakar dari isme-isme
induk. Tidak seperti di Barat yang secara terang menyebut diri sebagai
liberalis, konservatif, humanisme, sekularis, atau lainnya. Di Indonesia
penyebutan keberpihakan ideologisnya lebih soft
dan diplomatis, misalnya nasionalisme religius, islam moderat, nasionalis, islamis
modernis, dan sebagainya. Di era ini, partai tengah semakin banyak, sedangkan
yang kiri dan kanan cenderung mengambil aman menjadi partai tengah. Sehingga
konfrontasi ideologi tidak begitu menjadi soal, apalagi setelah munculnya
paradigma baru di benak masyarakat kita: Semuanya sama untuk membangun
Indonesia, Hidup Rakyat!. Meski tak sepenuhnya benar – produk patah hati politik.
Gerakan
mahasiswa dalam pusaran ideologi
Berbeda dengan dengan partai politik atau ormas underbow partai tertentu, GM memiliki
sisi independensi dan ketulusan nurani sebagai gerakan ekstra-parlementer.
Berprinsip pada gerakan moral dan intelektual. GM pada mulanya adalah gerakan
pembela rakyat yang cenderung pada upaya-upaya revolusioner (simak kembali
sejarah keruntuhan rezim-rezim). Namun, pergeseran zaman dan perubahan sistem
politik menuju demokrasi liberal saat ini, tak lagi memungkinkan untuk
melancarkan gerakan-gerakan yang melulu politis dan beurusan dengan
rezim/pemerintahan. Kanal demokrasi terbuka lebar, sehingga terkesan naif jika
GM masih berkutat pada cara-cara lama yang kurang progresif.
Pergeseran zaman ini tidak secara otomatis mengubah
paradigma Ideologi GM, meski berubah pola dan terjadi pergeseran narasi
gerakan, akan tetapi untuk urusan ideologi, keberpihakan hagemoni belum secara
signifikan berubah. Kalau boleh dikatakan sebagai "pencairan
ideologi", GM tidak lagi kental pada isme-isme
tertentu.
Pencairan ini disatu sisi menguntungkan dinamisasi
gerakan yang lebih inklusif dan terbuka. Sehingga agenda GM tidak lagi seperti
mengerjakan misi membangun hagemoni atau mengideologisasi masyarakat kampus
sebagai hidden agenda. Ideologisasi
lebih kepada upaya counsciusness
masyarakat. Artinya, yang akan memihak pada ideologi tertentu akan berangkat
pada kesadaran, bukan atas dasar kejumudan apalagi ikut-ikutan. Afiliasi
politik pun bukan lagi atas nama kolektif tetapi pada identifikasi individu
(individu yang sadar dan paham).
Di sisi lain, kekurangkentalan ideologi ini membuat
masivitas dan keberpihakan anggota menjadi kendor, bahkan menjurus pada
pengkhianatan sewaktu-waktu. Secara otomatis, kegagalan mengideologisasi adalah
sebagai bentuk kegagalan kaderisasi. Sekaligus menumpulkan kinerja-kinerja yang
bermuatan sosial-politis. Berangkat dari ragam liku inilah kemudian perlu
diangkatnya wacana-wacana ideologis guna menajamkan kembali kepahaman kader
sekaligus menguatkan keberpihakan individu pada sebuah organisasi (jamaah). Jangan sampai, kecairan ideologi ini membuat jiwa pergerakan menjadi - kata Bill
Moyer - krisis identitas, sekaligus tidak berdaya menyikapi realitasnya, pada
akhirnya tidak mampu meraih kemenangan secara nyata - ia masih terjebak dalam
agenda-agenda protes.
Lepas dari ragam keberpihakan dan dependensi gerakan
mahasiswa saat ini, setidaknya GM masih tetap menjaga tradisi ideologi yang
telah dibangun semenjak digulirkannya agenda gerakan. Semoga tetap konsisten bertindak sebagai
senjata perlawanan sekaligus perlindungan rakyat (ummat).
Referensi:
Nezar
Patria. 1999. Antonio Gramsci Negara
& Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin
Sudarsono. 2010. Ijtihad Membangun Basis
Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia
Johan
Prasetya. 2014. Ajaran-Ajaran Para
Founding Father Dan Orang-Orang Disekitarnya. Jakarta: Palapa
Bill
Moyer. 2006. Membangun Perlawanan Rakyat.
Yogyakarta: Pustaka Kendi
M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia
Foto: Diskusi klasikal kammda Balam