Esai diskusi "studi ideologi politik di Indonesia: partai politik dan gerakan mahasiswa"

Jalan Terjal Keberpihakan Ideologis
Oleh: Ahmad Risani**

Sebelum menjadi bangsa merdeka, hingga berada di gerbang kemerdekaan, pergolakan dan perebutan kuasa di tanah air tidak hanya dimonopoli oleh geliat militeristik (perang dan penindasan). Perjalanan awal bangsa ini justru lebih banyak berkisar pada upaya hagemonik - meminjam istilah Gramsci - sebagai upaya untuk mengambil pengaruh pemikiran oleh kelompok elit intelektual terpelajar.

Jika kita menengok kembali sejarah perebutan pengaruh ideologi di negeri ini, kita akan menemukan sebuah drama yang tak kalah berdarah-darah ketimbang kisah-kisah cultuur stelsel dan Romusha misalnya. Bahkan dalam perjalanannya pasca merdeka, perebutan hagemoni ini sedikit banyak mengundang keterlibatan dua bangsa adidaya di masa perang dunia II, Uni Soviet dan AS. Selain itu, serba-serbi lainnya yang patut disimak ialah ketika pergolakan itu melibatkan elit intelektual muda bangsa yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri (Eropa dan Arab) - ketika "pulang kampung", mereka inilah yang kemudian turut berjibaku dalam pertaruhan ideologi, sebut saja mereka adalah Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Kartosuwirjo, Semaun dan lain sebagainya.

Namun, singkat cerita - pergolakan ideologis oleh kelompok awal merdeka ini sempat mengalami penyurutan pasca disepakatinya Pancasila sebagai jalan tengah yang memadukan beberapa unsur ideologi. Meskipun begitu, situasi sosial-politik yang dinamis dan kurang menguntungkan bagi pemerintahan era ordelama, memaksa beberapa kelompok counter hagemony untuk melakukan pemberontakan (lawan dari hagemoni). Pada akhirnya dikenal-lah pemberontakan Komunis, di masa yang sama juga dikenal pemberontakan NII.

Sekilas tentang Parpol

Orde baru, bisa dikatakan sebagai likuan terjal berkembangnya ideologi islam. Ditutupnya kanal demokrasi yang memaksakan segala elemen dan ormas gerakan dan partai untuk mengukuhkan Pancasila sebagai asas tindakan, seolah-seolah ada faksi yang terjal antara islam dengan pancasila. Persaingan politik lebih menonjolkan kepentingan pragmatis kelompok.

Era Reformasi, sedikit banyak telah membawa perubahan sistemik yang fundamantal dalam menjamin liberasi bagi perjalanan demokrasi kita. Khususnya kanal politik. Bermunculannya ragam partai islam dan ormas islam saat ini memberikan warna baru bagi dominasi partai-partai liberalis-sekularis, disatu sisi juga memunculkan partai-partai "banci" ideologis yang mengklaim dirinya sebagai nasionalis-religius. Kemunculan partai/ormas banci inilah yang kemudian semakin menguatkan dikotominya istilah "islamisme tidak nasionalis", "nasionalis itu tidak islami", dan sebagainya.

Saat ini partai politik dan ormas/kelompok tertentu di Indonesia mendedah menjadi varian pilihan ideologi yang berakar dari isme-isme induk. Tidak seperti di Barat yang secara terang menyebut diri sebagai liberalis, konservatif, humanisme, sekularis, atau lainnya. Di Indonesia penyebutan keberpihakan ideologisnya lebih soft dan diplomatis, misalnya nasionalisme religius, islam moderat, nasionalis, islamis modernis, dan sebagainya. Di era ini, partai tengah semakin banyak, sedangkan yang kiri dan kanan cenderung mengambil aman menjadi partai tengah. Sehingga konfrontasi ideologi tidak begitu menjadi soal, apalagi setelah munculnya paradigma baru di benak masyarakat kita: Semuanya sama untuk membangun Indonesia, Hidup Rakyat!. Meski tak sepenuhnya benar – produk patah hati politik.

Gerakan mahasiswa dalam pusaran ideologi

Berbeda dengan dengan partai politik atau ormas underbow partai tertentu, GM memiliki sisi independensi dan ketulusan nurani sebagai gerakan ekstra-parlementer. Berprinsip pada gerakan moral dan intelektual. GM pada mulanya adalah gerakan pembela rakyat yang cenderung pada upaya-upaya revolusioner (simak kembali sejarah keruntuhan rezim-rezim). Namun, pergeseran zaman dan perubahan sistem politik menuju demokrasi liberal saat ini, tak lagi memungkinkan untuk melancarkan gerakan-gerakan yang melulu politis dan beurusan dengan rezim/pemerintahan. Kanal demokrasi terbuka lebar, sehingga terkesan naif jika GM masih berkutat pada cara-cara lama yang kurang progresif.

Pergeseran zaman ini tidak secara otomatis mengubah paradigma Ideologi GM, meski berubah pola dan terjadi pergeseran narasi gerakan, akan tetapi untuk urusan ideologi, keberpihakan hagemoni belum secara signifikan berubah. Kalau boleh dikatakan sebagai "pencairan ideologi", GM tidak lagi kental pada isme-isme tertentu.

Pencairan ini disatu sisi menguntungkan dinamisasi gerakan yang lebih inklusif dan terbuka. Sehingga agenda GM tidak lagi seperti mengerjakan misi membangun hagemoni atau mengideologisasi masyarakat kampus sebagai hidden agenda. Ideologisasi lebih kepada upaya counsciusness masyarakat. Artinya, yang akan memihak pada ideologi tertentu akan berangkat pada kesadaran, bukan atas dasar kejumudan apalagi ikut-ikutan. Afiliasi politik pun bukan lagi atas nama kolektif tetapi pada identifikasi individu (individu yang sadar dan paham).

Di sisi lain, kekurangkentalan ideologi ini membuat masivitas dan keberpihakan anggota menjadi kendor, bahkan menjurus pada pengkhianatan sewaktu-waktu. Secara otomatis, kegagalan mengideologisasi adalah sebagai bentuk kegagalan kaderisasi. Sekaligus menumpulkan kinerja-kinerja yang bermuatan sosial-politis. Berangkat dari ragam liku inilah kemudian perlu diangkatnya wacana-wacana ideologis guna menajamkan kembali kepahaman kader sekaligus menguatkan keberpihakan individu pada sebuah organisasi (jamaah). Jangan sampai, kecairan ideologi ini membuat jiwa pergerakan menjadi - kata Bill Moyer - krisis identitas, sekaligus tidak berdaya menyikapi realitasnya, pada akhirnya tidak mampu meraih kemenangan secara nyata - ia masih terjebak dalam agenda-agenda protes.

Lepas dari ragam keberpihakan dan dependensi gerakan mahasiswa saat ini, setidaknya GM masih tetap menjaga tradisi ideologi yang telah dibangun semenjak digulirkannya agenda gerakan.  Semoga tetap konsisten bertindak sebagai senjata perlawanan sekaligus perlindungan rakyat (ummat).

Referensi:
Nezar Patria. 1999. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin Sudarsono. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia
Johan Prasetya. 2014. Ajaran-Ajaran Para Founding Father Dan Orang-Orang Disekitarnya. Jakarta: Palapa
Bill Moyer. 2006. Membangun Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Kendi
M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia


Foto: Diskusi klasikal kammda Balam


**Penggiat menulis di kompasiana.com/ahmadrisani





Related

Opini 6029515652648665575

Berikan Komentar Disini

emo-but-icon

Follow Us

Total Tayangan Halaman

Ketum KAMMI Wilayah Lampung

Ketum KAMMI Wilayah Lampung

Gabung KAMMI

Gabung KAMMI

News

Comments

Recent

Sports

Kuliner

Berita Kampus

Daerah Daerah

Explore Lampung

Instagram

Text Widget

item