Ironis Pendidikan Indonesia
http://kamwillampung.blogspot.com/2015/02/ironis-pendidikan-indonesia.html
Ada satu kebiasaan unik yang dilakukan siswa
dalam mengerjakan soal ujian atau soal semester. Yaitu mengerjakan tanpa
melihat soal alias asal-asalan dan
kemudian keluar lebih dulu dari ruang ujian. Oleh karenanya tak jarang dari
siswa dalam lembar jawaban sering melingkari jawaban lebih atau kurang dari
jumlah soal. Kejadian tersebut adalah sebuah pengalaman dari penulis yang
berprofesi sebagai guru. Sebagai seorang pendidik saya tidak mempersoalkan
jumlah benar dari soal yang telah dijawab oleh siswa, akan tetapi yang saya
sayangkan siswa memilih mengambil sikap untuk menyerah dan tidak berusaha dengan
mencoba mencari peruntungan menembak
dari pilihan jawaban yang ada. Selain itu yang menjadi penyesalan saya juga sebagai
seorang pendidik adalah siswa tidak kemudian khawatir dengan hasil yang dia
peroleh dari pekerjaan yang mereka kerjakan. Fakta-fakta diatas sudah menjadi
budaya dilingkungan pendidikan, bahkan fakta ini terjadi tidak hanya disekolah
pelosok atau pinggiran tetapi juga terjadi disekolah Negeri seperti di Ibukota Bandar
Lampung.
Jika kita renungkan peristiwa yang menjadi
fakta dilingkungan pendidikan kita hari ini, maka siswa sudah tidak lagi
mempercayai hukum sebab akibat yang menjadi hukum alam. pribahasa seperti berakit-rakit kita kehulu berena-renang
ketepian, bersakit-sakit kita dahulu bersenang-senang kemudian atau
pribahasa yang lain seperti rajin pangkal
pandai, hemat pangkal kaya hanyalah sebuah ungkapan yang tidak berarti
apa-apa atau mungkin sudah tidak relevan
untuk diaplikasikan dijaman ini. Seperti halnya teknologi yang banyak melahirkan
alat dan fitur yang membuat suatu
pekerjaan mudah, singkat, dan instant.
Pun juga dialami pada proses pendidikan kita saat ini, tidak harus rajin
ataupun belajar dengan giat, banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh
nilai yang bagus, sekedar lulus, ataupun untuk mendapatan Ijazah. Akan tetapi cara mudah, singkat, dan instant
tentunya bertolak belakang dengan prinsip dan kaedah pendidikan. Bagi saya
pribadi pendidikan adalah proses bagaimana kita mengenal diri kita, menggali
potensi yang kita miliki, dan memanfaatkan potensi kita miliki untuk
kepentingan masyarakat luas.
Dahulu pendidikan
adalah tempat dimana kita bisa meletakkan sebuah harapan menuju kehidupan yang
lebih baik. Tapi hari ini pendidikan juga ikut terbawa arus gaya birokrasi
busuk yang mendewakan hasil praktis dan instant, hal tersebut
yang menjadikan pendidikan tercemari budaya laten Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Masalah yang sering ditemui dalam kasus pendidikan sehingga
kehilangan khasanah fungsi pendidikan adalah sebagai berikut :
1.
Fasilitas dan Infrastruktur
Berdasarkan data Kemendiknas,
secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun
sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat
ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi
rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak
terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi Tengah
1.186, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten 4.696, Sulawesi
Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, Sulawesi
Barat 898, sedangkan di Lampung kelas rusak sebanyak 911. Anggaran
pendidikan yang jumlah nya cukup fantatstis ternyata sampai saat ini belum
menyelesaikan permasalahan mendasar dalam pendidikan. Indikasi Korupsi sehingga
proses pembangunan fasilitas pendidikan tidak kunjung rampung menjadi salahsatu
faktor fasilitas dan Infrastruktur pendidikan di Indonesia terhambat hingga
sekarang. Dalam berbagai kasus korupsi pendidikan tidak sedikit para koruptor
menyalahguakan anggaran Fasilitas dan Infrastruktur pendidikan sebagai alat
untuk memperkaya diri sendiri. Dari data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW)
2.
Tenaga Pengajar
Saat ini dari 2,92 juta guru baru
sekitar 51% yang berpendidikan S-1, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga
dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang
memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi
syarat sertifikasi. Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata.
Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil
masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia
kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru.
Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang
pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk
menjamin kelancaran proses belajar.
Jumlah
tenaga pengajar yang semakin berkurang dalam waktu ke waktu tidak dibarengi
dengan proses rekruitmen yang berkualitas. Meskipun berbagai upaya dalam
rekuitmen terus diperbaiki seperti dengan menggunakan Computer Assisted Test
(CAT), tetap saja terdapat peluang terjadinya proses KKN bisa terjadi.
Media tes berbasis computer yang digunakan saat ini seharusnya bisa secara
langsung memberikan hasil kelulusan peserta CPNS akan tetapi masih membutuhkan
waktu untuk menunggu hasil yang seharus nya bisa diketahui hasilnya pada waktu
yang bersamaan. Kelemahan transparansi masih terdapat meskipun sudah
menggunakan media yang praktis. Saya menilai selagi masih ada jeda antara waktu
tes dan hasil kelulusan memungkinkan bagi oknum yang tidak bertanggung jawab
untuk melaksanakan proses curang.
Proses
kecurangan yang sudah umum sering terjadi dalam rekruitmen CPNS berdampak pada
kualitas tenaga pengajar yang dihasilkan. Tidak hanya secara kuantitas jumlah
pengajar mengalami kekurangan akan tetapi secara kualitas jumlah tenaga
pengajar juga mengalami degradasi moral. Seorang tenaga pengajar sering sekali
lupa terhadap konsekuensi identitas sebagai pendidik. Belakangan tenaga
pengajar adalah sosok pengajar yang memberikan banyak Pekerjaan Rumah (PR) dan
kemudian memutuskan seorang siswa lulus atau tidak serta pintar atau bodoh. Bagi
saya tenaga pendidik tidak hanya mentrasfer ilmu tapi juga memberikan teladan,
tidak menghakimi atau memutuskan tapi memberikan harapan, serta tidak menyuruh
akan tetapi mengajak melakukan kebaikan.
3.
Lingkungan Pendidikan
Pendidikan dianggap sebagai tempat
untuk menggantungkan harapan, sehingga dapat merubah kehidupan dimasa yang akan
datang menjadi lebih baik. Lingkungan pendidikan dianggap sebagai tempat yang
layak untuk berkembangnya generai muda. Lingkungan pendidikan yang diharapkan
memenuhi nilai akademis, terjaga moral dan etika, serta tetap kompetitif
menempatkan pendidikan sebagai primadona harapan Negara dan bangsa dimasa yang
akan datang.
Akan tetapi belakangan lingkungan pendidikan
justru menjadi ancaman bagi perkembangan generasi muda. Lingkungan pendidikan
yang diharapkan menjadi tempat untuk menjaga perkembangan generasi muda, justru
dilingkungan pendidikan itulah menjadi ancaman tercemarnya pergaulan bebas yang
dikenal oleh generai saat ini. hal-hal negative justru dikenal oleh generasi
bangsa dilingkungan sekolah. Selain itu, tontonan contoh birokrasi yang kurang
baik sering dipertontonkan oleh pihak guru dan aparatur sekolah. Seperti
pungutan liar yang terjadi disekolah sampai kecurangan ujian sekolah yang sudah
menjadi rahasia umum. Belakangan juga lingkungan pendidikan dijadikan sebuah
peluang bisnis yang tanpa disortir oleh pihak sekolah apakah itu
bermanfaat atau tidak. Saya secara pribadi menyaksikan brosur tempat karaoke
disebar dan secara bebas disekolah dengan menawarkan diskon untuk pelajar.
Sekolah bukan lagi tempat yang aman buat siswa,
justru menjadi ancaman bagi siswa. Kasus asusila juga belakangan sering terjadi
dilingkungan sekolah. Hal tersebut harus menjadi catatan dan evaluasi oleh
pemerintah, perkembangan genersi muda bukan hal yang remeh temeh. Pendidikan adalah harapan terakhir bangsa ini setelah semua hancur dan habis tanpa tersisa pada pendidikan inilah kita mampu berharap.
Oleh
Asis Budi Santoso, S.Pd